Oleh: Rizalul Ghaibi Lubis. Sebelumnya, dinamika dunia pendidikan
diguncang oleh Ujian Nasional (UN), kurikulum baru, dan kali ini
ditambah dengan daftar baru, yakni "Mark Up nilai Rapor" atau "cuci
rapor". Konon kabarnya, demi siswa-siswanya bisa masuk Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) idaman, pihak sekolah tak sungkan mendongkrak nilai rapor
siswanya. Sepertinya mekanisme cuci rapor kini sudah menjadi rahasia
umum di kalangan masyarakat lewat trik kotor berupa manipulasi seluruh
nilai rapor dari semester satu hingga semester enam sehingga peluang
diterima masuk di perguruan tinggi negeri lebih besar. Sekolah mana yang
tak akan bangga jika siswa lulusan sekolahnya banyak diterima di PTN
ternama.
Herannya, praktik cuci rapor tidak hanya dilakukan oleh pihak sekolah
‘kelas biasa’ saja. Namun, sekolah-sekolah kelas unggulan lainnya juga
melakukan hal yang sama untuk meraup keuntungan. Keuntungan bagi oknum
pelakunya sendiri dan keuntungan bagi sekolahnya. Tindakan pihak sekolah
yang melakukan hal tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak etis
serta secara implisit telah menanamkan jiwa korupsi, kolusi, dan
nepotisme yang telah menjadi penyakit kronis bangsa ini. Hal ini sama
saja seperti mencuci otak anak didik, dalam artian sejak dini mereka
telah diajarkan untuk berbuat curang demi mendapatkan sebuah keuntungan
dan dikhawatirkan hal ini akan terus berlanjut bila mereka menjadi
manusia yang berhasil kelak.
Nilai yang dicantumkan setelah melakukan pencucian rapor pun berubah
fantastis. Nilai yang tadinya didominasi dengan nilai tujuh dan delapan,
kini malah didominasi angka sembilan bahkan hampir mendekati angka
sepuluh. Rapor yang baru pun terkesan kurang bersih. Barangkali oknum
pelakunya kurang berhati-hati dalam ‘mencuci’ rapor sehingga ada
beberapa nilai yang ditipeks pada tempat yang kontras, yaitu pada kotak
ranking. Bisa dibilang rapor baru tersebut tidak hanya kotor karena
tipeks tetapi juga karena nilai yang telah direkayasa. Sungguh hal ini
tidak dapat dibanggakan bahkan hal ini bisa dibilang hal yang rendah dan
memalukan bagi dunia pendidikan.
Kesemuanya akan memberikan efek buruk bagi pencitraan dunia pendidikan
Indonesia yang semakin terpuruk dan secara luas juga menghancurkan
generasi bangsa. Padahal sejatinya dunia pendidikan adalah sebagai mesin
penggerak bangsa karena melahirkan orang-orang berintelektual dan
berbudi pekerti luhur serta akan menentukan arah kemajuan bangsa ini.
Saat ini telah terbentuk pola pikir siswa yang penting bisa mendapatkan
nilai bagus dan memenuhi syarat untuk bisa diterima meski harus mencuci
rapor, tanpa memperhatikan dampak buruknya bagi perkembangan dunia
pendidikan Indonesia ke depannya.
SNMPTN 2013 Rawan Konflik
Jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2013 akan
menimbulkan konsekuensi baru. Sebab SNMPTN 2013 mendatang, proses
penilaian terhadap kemampuan calon mahasiswa hanya mengacu pada nilai
rapor dan hasil UN siswa saja sedangkan ujian tertulis akan dihapuskan.
Nilai UN dan rapor dianggap sebagai tolok ukur dan kunci utama
diterimanya mahasiswa masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Sistem yang
dioperasikan pada SNMPTN 2013 ini hampir sama dengan jalur undangan pada
tahun sebelumya. Bedanya, pihak sekolah yang akan merekomendasikan anak
didiknya dan database laporan sekolah akan tersimpan di Pangkalan Data
Siswa Sekolah (PDSS).
Konon SNMPTN kali ini bertujuan untuk mengembangkan cita-cita luhur
pendidikan dengan membangun kepercayaan, lebih selektif, serta
melibatkan sekolah dalam kegiatan penyeleksiannya. Selain itu, untuk
membangun budaya kejujuran dalam bidang akademik, menciptakan kepedulian
PTN terhadap mahasiswa yang berekonomi lemah namun mempunyai prestasi
yang baik. Ketetapan ini diberlakukan dengan alasan meningkatkan peran
UN dan Nilai rapor yang telah diperoleh siswa selama 3 tahun.
Menanggapi hal tersebut, tentu ini akan menjadi sebuah sistem yang rawan
akan konflik. Kebijakan itu tentu menuntut pelaksanaan UN dengan
kredibilitas tinggi dan menuntut kejujuran pihak sekolah dalam
merekomendasikan nilai-nilai anak didiknya.
Hal tersebut juga akan menimbulkan ketidakharmonisan antara hubungan
sekolah dengan orang tua murid. Sebab, orang tua murid akan mendesak
pihak sekolah untuk memperbaiki nilai anaknya jika nilai yang diperoleh
itu jauh dari kata memuaskan. Dengan kata lain cuci rapor akan dijadikan
salah satu solusi yang harus ditempuh jika sewaktu-waktu hal itu
terjadi pada anak didik.
Untuk biaya cuci rapor sendiri berkisar antara 500 ribu rupiah hingga 1
juta. Jika dibandingkan dengan posisi anak didik yang pintar dan
berekonomi lemah yang nilainya telah dikalahkan dengan anak didik yang
kurang pintar namun telah mencuci rapor, tentu kurang adil rasanya.
Hal ini jelas bertolak belakang dari wacana tentang tujuan SNMPTN 2013
yang telah dipaparkan sebelumnya. Bisa dikatakan yang memiliki uang
banyak yang berkesempatan untuk masuk ke PTN meski menempuh cara kotor
dengan mencuci rapor.
Memang benar sistem ini bisa dikatakan sebagai bentuk pengakuan proses
belajar anak didik saat di sekolah. Namun apakah nilai yang diberikan
pihak sekolah sudah bisa dijamin kebenarannya?
Lagi pula terlalu dini rasanya memutuskan bahwa nilai UN dan nilai rapor
sebagai kunci utama masuk PTN melihat masih banyaknya kecurangan yang
terjadi saat pelaksanaan UN dan saat pemberian nilai rapor.
Kebocoran soal dan kunci jawaban saat penyelenggaraan UN kerap masih
terjadi. Saat UN, anak didik yang tidak belajar atau kurang pintar
sekalipun berkesempatan mendapatkan nilai yang bagus dikarenakan mereka
telah mendapat amunisi yang mereka perlukan saat UN dari oknum-oknum
yang berlaku curang.
Jikalau sistem mengandalkan nilai rapor dan nilai UN ini benar-benar
harus dilakukan maka rasanya harapan untuk meningkatkan mutu pendidikan
sangatlah tidak mungkin. Sebab angka-angka yang besar dalam rapor dan
nilai UN tidak dapat men jamin kemurnian hasil belajar anak didik serta
kemampuan anak didik belum tentu sama besarnya dengan nilai rapor dan
nilai UN yang mereka peroleh. Selain itu, ini akan membuat mutu PTN
sendiri menjadi bobrok karena diisi calon-calon mahasiswa yang nilai
tingginya hanyalah sebuah kepalsuan atau rekayasa belaka.
Hemat saya, untuk menjadikan nilai rapor dan nilai UN sebagai patokan
pada SNMPTN berarti sama saja meningkatkan kecurangan atau sama saja
seperti menggali lubang kubur sendiri bagi dunia pendidikan di
Indonesia. Sebab SNMPTN dengan sistem tes tulis merupakan jalur yang
paling adil seadil-adilnya untuk masuk di perguruan tinggi yang kita
inginkan.
Tes tulis dalam SNMPTN bisa dijadikan ukuran sejauh mana kemampuan calon
mahasiswa yang akan tersaring nantinya. Toh, sebagaimana yang telah
kita ketahui bersama bahwa jalur mandiri rasanya memang dikhususkan
untuk calon-calon mahasiswa yang berekonomi menengah ke atas.
Namun, bila ini benar direalisasikan maka dalam hal ini UN dan pengisian
rapor harus mendapatkan pengawasan dan perhatian khusus dari
Kemendikbud, sekolah, PTN dan masyarakat.
Agar mempersempit peluang terjadinya tindak kecurangan serta
mempersempit adanya kerjasama kongkalikong antara oknum-oknum yang
hendak berlaku curang. Sejatinya, ujian tulis SNMPTN adalah jalan untuk
mencapai cita-cita dengan diterima masuk di perguruan tinggi idaman.
Beberapa alasan yang mendasari di balik rencana penghapusan ini pun
sungguh tidak rasional. Kurang tepat rasanya cara ini disebut sebagai
cara menghargai hasil belajar anak didik selama menempuh jenjang
sekolah.
Hendaknya hal ini juga diimbangi oleh kejujuran para guru di sekolah.
Sehingga nilai yang dikirim benar-benar mencerminkan kemampuan siswa,
bukan hanya sekedar ambisi agar bisa diterima masuk di perguruan tinggi
bergengsi.
Namun, tetap saja tindakan mencuci rapor merupakan tindakan yang
jelas-jelas salah. Bahkan malah semakin membuat kotor dunia pendidikan
di Indonesia. Kotornya tidak hanya mengotori rapor dengan memberi tipeks
pada kotak nilai, tetapi juga kotor dalam tindakannya yang telah
merekayasa nilai anak didik serta mengotori dunia pendidikan dengan
mengajarkan cara yang tidak jujur pada generasi-generasi bangsa. ***
Penulis adalah Mahasiswa FKIP UMSU, aktif di LPM Teropong UMSU di kutip dari Harian Analisa.


No comments :
Post a Comment