Sosial fobia (social phobia) atau dikenal juga dengan istilah social anxiety disorder (SAD) merupkan gangguan kecemasan secara menyeluruh yang ditandai dengan beberapa simtom tertentu yang sifatnya khas;
1) Fisik – Gemetar pada tangan dan kaki,
seperti tremor ketika kecemasan meningkat yang juga disertai gemetar
pada saat berbicara – Berkeringat terutama pada tangan – Rasa cemas
secara berlebihan yang ditandai dengan adanya serangan panik – Meningkat
ketegangan pada otot, ditandai mudah pegal – Ingin buang air kecil
dalam waktu singkat – Sering sakit kepala – Insomnia – Mudah merasa
lelah – Rasa sesak di dada – Pusing
2) Kognitif – Rasa takut terhadap
penilaian orang lain, takut dikritik – Selalu berpikir negatif,
beranggapan bahwa orang lain menilai buruk tentang dirinya – Kesulitan
menemukan ide-ide baru dan cenderung tidak mampu berpikir secara jernih
terhadap permasalahan yang dihadapinya. – Mengisolasi diri – Merasa
dirinya lemah, bodoh dan selalu merasa khawatir – Merasa dirinya selalu
dilihat oleh orang lain – Rasa takut untuk melihat atau bertemu orang
asing – Merasa dirinya tidak mampu berkompetisi dan berperilaku
sebagaimana orang lainnya. – Menghindari kerumunan atau kumpulan orang
ramai/keramaian tertentu saja (secara diagnostik harus dipisahkan
kecenderungan dari simtom agoraphobia) - Ketakutan untuk tampil di
depan orang lain atau publik Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSMIII), sosial fobia ditandai dengan ciri utama ketakutan yang
sifatnya menetap, irasional, yang memaksakan individu menghindari
situasi-situasi yang membuat individu tersebut merasa malu diperhatikan
oleh orang lain. Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSMIV) pada gangguan ini ditekankan pada rasa ketakutan tersebut
secara berlebihan dan dengan alasan tidak masuk akal. Penderita sosial
fobia menunjukkan pelbagai perilaku tertentu seperti rasa takut
berbicara di depan umum, makan ditempat umum, buang air kecil di toilet
umum, atau berbicara sepatah kata pada situasi sosial tertentu, takut
menulis sesuatu hal yang dapat dibaca oleh publik (Artinya, mereka lebih
suka menyembunyikan tulisan-tulisannya dengan menyembunyikan identitas
penulis, biodata dan sebagainya). Pada situasi yang menakutkan,
penderita SAD sering menyalahkan dirinya sendiri, seiring meningkatnya
kecemasan juga terjadinya perubahan warna kulit yang memerah,
berkeringat dan gemetar.
Treatment
Penderita sosial fobia dapat kembali
menjadi normal setelah menjalan terapi secara rutin yang tidak terputus.
Penderita sosial fobia atau SAD harus menjalani test diagnostik
terlebih dahulu untuk menentukan diagnosa awal, dengan melihat skor yang
diperoleh dari Clinical Global Impression Scale (CGI), Fear of Negative Evaluation Scale , atau Social Avoidance and Distress Scale . Sementara dalam psikofarmakologi, treatment utama yang digunakan adalah Selective Serotonin-Reuptake Inhibitors (SSRIs) jenis paroxetine (paxil), benzodiazepines , fluoxetine (prozac), sertraline (zoloft), dsb dianggap treatment paling manjur yang tidak berbahaya pada pasien.
Perihal pertanyaan Anda diatas, saya
menyarankan Anda dapat mengunjungi psikiater, terapis atau psikolog
profesional keduanya, perlu saya ingatkan, bahwa keberhasilan konseling
dan medikasi yang dilakukan tidak menjamin 100% tingkat keberhasilan
kemajuan yang diperoleh. Sekitar 80% pasien SAD dapat kembali normal
karena menjalani terapi secara rutin tanpa jeda waktu. Treatment yang
diberikan untuk penderita SAD yang paling sering dikenalkan adalah
cognitive-behavioural therapy (CBT). Psikolog/psikiater dan konselor
biasanya juga menyesuaikan dengan kepribadian kliennya. Tidak semua
bentuk terapi yang diberikan oleh mereka dapat sesuai dan berjalan
dengan baik, bila tidak ada kerjasama diantara keduanya. Proses
konseling juga sangat tergantung pada beberapa situasi tertentu
misalnya, karakteristik klien, kualitas kepribadian konselor, faktor
situasi kondisional dan sebagainya Psikiatris menggunakan obat-obatan
dalam memberikan treatment (disamping secara psikologis tentunya) berupa
prozac dan seroxat, dan juga trankimazin, rivotril, lexatin, tenormin, dan sebagainya yang diyakini dapat mempengaruhi kerja sistem syaraf pusat (central nervous system; CNS) secara langsung dan efektif mengurangi tingkat kecemasan klien.
Dalam terapi yang dilakukan pleh
psikolog, cognitive-behavioural therapy pasien diberikan: ketrampilan
bersosialisasi (social skills training) yang dapat dilakukan secara
berkelompok atau group (self-help group), latihan dalam mengekspresikan
rasa cemas secara tepat dan bagaimana mengontrolnya (exposure techniques), mengubah cara berpikir yang salah (cognitive restructuring techniques)
dan teknik kombinasi exposure-cognitive restructuring . Disamping itu
juga diperkenalkan meditasi untuk mengurangi ketegangan otot (relaksasi)
dan teknik copying .
No comments :
Post a Comment